20 November 2007

Satu dari nikmatnya Tarbiyah

Seorang kawan tiba-tiba mengirimkan SMS berupa pertanyaan serius kepada saya. Kontens dari pertanyaan sebenarnya sudah dapat terjawab dan ini masalah yang selalu berulang dan saya banyak menemukan pertanyaan ini dalam seminar dan forum diskusi ketika saya diminta jadi pembicaranya, ataupun di agenda ngapel (Ngaji Pelan-pelan) pekanan, dan dalam kesempatan-kesempatan lainnya. Untuk itu, lebih baik saya tulis pendapat saya di sini saja. Kalau nanti ada yang bertanya mengenai masalah ini, tinggal saya suruh buka blog ini.

Kawan saya itu menanyakan tentang pengibaratan komunitas tarbiyah dimana dia dan saya berada yang menurutnya sekarang telah mengalami banyak goncangan. Dia andaikan komunitas ini sebagai perahu dan dia buat tiga opsi terhadap komunitas ini:
1.Perahu itu dimuseumkan dan cukup menjadi bahan pelajaran bagi anak cucu kita,
2.Perahu itu dikaramkan saja biar tak berbekas, tak meninggalkan jejak sejarah, atau
3.Perahu tersebut diperbaiki agar tak koyak diterjang ombak.
Dan secara spontan saya pilih opsi ketiga.

Memang tidak menutup kemungkinan bahwa komunitas ini bukan tak punya salah, tak punya celah. Bisa juga komunitas ini kalah sempurna dibanding komunitas-komunitas yang lain dibidang-bidang tertentu. Tapi ini semua berawal dari niatan kita bergabung dalam komunitas ini. Jangan-jangan sejak semula bergabung dalam komunitas ini kita tak tahu peran apa yang harus kita mainkan atau jangan-jangan justru kita salah mengambil peran.

Maksud saya begini, jika dikembalikan dalam pengibaratan diatas. Misalnya kita seorang ahli (teknik) mesin yang secara kompetensi semestinya berada dilambung kapal, karena disanalah letak mesin berada. Tapi kita malah memilih atau ditempatkan di geladak kapal. Maka yang terjadi justru potensi kita cenderung tidak teroptimalkan. Kondisi seperti inilah yang memacu seseorang itu futur (lemah semangat) atau bahkan insyilakh (berlepas/memisahkan diri) kalau dia tidak memiliki imunitas keimanan. Dan seperti ini pula yang bisa menyebabkan kapal ini lamban mencapai tujuan. Karena bisa jadi pula kesalahan pengambilan peran tidak hanya terjadi pada si ahli (teknik) mesin, tapi pada nahkoda dan posisi-posisi lainnya.

Sebenarnya tak ada yang salah dengan perahu ini, karena telah tersedia kompas (Qur’an dan sunnah) yang menjadi pedoman dan ada peta (manhaj) yang secara utuh menggambarkan rute dan cara bagaimana kita mencapai tujuan. Justru yang menjadi penyebab akan tiba atau tidaknya perahu ini pada tujuan adalah orang-orangnya, kita.

Ada pelajaran yang dapat kita ambil dari sejarah perang Uhud. Setelah kemenangan Badar berduyun-duyun orang memilih islam sebagai agama mereka. Berbagai motivasi yang melatarbelakangi perpindahan agama tersebut. Ada yang karena tujuan untuk Allah dan RasulNya, ada yang karena takut diperangi oleh kaum muslimin jika tidak memeluk agama islam, ada juga karena motivasi jika bersama islam akan banyak harta yang didapat dari hasil rampasan-rampasan perang, dan motivasi lainnya. Tapi begitu datang perintah berjihad ke medan Uhud, sedikit dari umat yang merespon seruan Rasul. Berbagai alasan yang dikemukakan, dan yang terakhir, desersinya sejumlah pasukan dibawah komando Abdullah Bin Ubay. Begitu pula kondisi komunitas ini. Banyak orang yang bergabung dengan berbagai maksud yang membersit dihatinya. Dan Allah lah yang akan menyeleksi orang-orang itu.

Dan satu hal lagi, jika kita melihat adanya orang-orang dalam komunitas ini yang melakukan kesalahan, maka tak usah dibawa risau. Semua orang boleh melakukan kesalahan, dan bukan kesalahan itu yang harus kita ungkit, justru temani orang-orang itu untuk memperbaiki diri. Bukankah orang sekelas veteran Badar juga pernah bersalah? Pagi mereka berjihad fisabilillah dimedan Badar dan sorenya berebut ghonimah hingga Allah menurunkan surat Al-Anfal bagi mereka. Bahkan seorang ustadz (kawan saya, ketua IKADI BATAM) berseloroh, ”tak usahlah kita dendam pada orang-orang yang bersalah, selama masih tarbiyah, maka selama itu berarti masih terbersit niatan untuk berubah.”. Dia pula menyebutkan, sangat berlebihan jika ada sesama ikhwah yang mendendam dan enggan memaafkan jika terdapat kesalahan. Kita bukan (sekelas) Rasul dan yang terhukum bukan (sekelas) Ka’ab Bin Malik. Atau bahkan menghadapi (sosok seperti) fir’aun pun Musa harus menggunakan kata yang lemah lembut. LUAR BIASA... TARBIYAH MENGAJAR KITA.

Tidak ada komentar: