24 Oktober 2007

Beginilah Orang Pulau Menyambut Kami


17 September lalu saya mengikuti perjalanan reses anggota DPRD Kota Batam ke pulau Jaloh. Sebuah pulau yang berjarak satu jam perjalanan jika ditempuh menggunakan pompong (perahu kecil bermotor).

Disana, kehidupan khas melayu yang saya temukan. Sambutan yang hangat dan penuh penghormatan. Akan tetapi, di pulau tersebut sangat minim sarana penunjang kehidupan. bayangkan saja, pulau yang dihuni oleh sekitar 30an KK (sebagian hidup didaratan dan yang lain membuat rumah diatas laut yang terhubung dengan daratan)harus menghabiskan 13 juta/bulan hanya untuk bahan bakar penerangan karena mereka menggunakan generator bukan listrik PLN, tidak ada puskesmas, fasilitas sekolah minim, dan mereka hanya hidup sebagai nelayan tradisional. Satu yang membuat hati bahagia, mereka teguh dalam agama.

Selama ini yang terbayang tentang pulau Batam adalah kota industri yang kaya dan menjanjikan hidup, realitanya memang iya, memang menjanjikan bagi sebagian kecil orang, tapi masih banyak wilayah di Kota Batam yang justru mengalami kesenjangan. Mereka miskin, dan merekalah penduduk asli Batam, orang-orang pulau.

Di Jaloh yang hanya berjarak sekian menit dari Singapura dan Malaysia, saya rasa masyarakatnya lebih nasionalis daripada para politisi nasinal kita yang mengaku nasionalis. Tiap hari siaran radio atau televisi yang mereka tangkap justru berasal dari negara tetangga, maka wajar jika mereka lebih kenal Abdullah Badawi (PM Malaysia) daripada SBY-JK. Bahkan mungkin lebih cinta dan mengidolakan Siti Nurhaliza daripada Siti KDI. Tapi mereka bangga menjadi bagian dari Indonesia bukan Malaysia atau Singapura (dengan bagga mereka menunjukkan KTP Indonesia pada saya), meskipun hingga sekarang mereka tetap miskin dan terasing, bukan saja terasing secara geografis tapi juga dari perhatian pemerintah.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Pendakian Gunung Ungaran

Beberapa waktu yang lalu, bersama dengan beberapa teman baik, saya kembali melakukan pendakian gunung untuk yang ke-9 kalinya. Kali ini adalah sebuah Gunung di daerah Ungaran, Kabupaten Semarang. Namanya adalah Gunung Ungaran ^0^. Karena puncaknya tidak terlalu tinggi, saya pun sempat ber_`apriori` bahwa pendakian kali ini tidak akan melelahkan sama sekali. Namun ternyata saya salah ^ ^'. Karena meskipun ketinggian gunung ini hanya berkisar 2000-an MDPL, tetap saja ini adalah sebuah gunung. Gunung selalu saja dipenuh dengan misteri`. Sebenarnya tidak ada motif khusus dalam pendakian kami kali ini, karena seperti pendakian-pendakian sebelumnya, ini hanyalah sebuah acara insidental'. Dan agar sedikit membekas dalam hati sanubari, kami pun menambahkan motif-motif yang terkesan dibuat-buat antara lain dengan mengatasnamakan penyambutan bulan puasa, awal bulan September, dan tidak lupa penyambutan atas rencana kenaikan harga BBM, sembako, dll. Yah, anda benar jika menebak pendakian ini dilakukan pada tangal 01 September 2007 ^ ^.

Seperti pendakian-pendakian sebelumnya, kali ini pun rute Gunung Ungaran ini kami selesaikan dalam hitungan mundur sampai dengan menjelang Sunrise, yaitu sekitar pukul 05.00 dini hari. Ini adalah sebuah perjalanan yang ternyata memang cukup melelahkan'. Perlu diketahui bahwa seperti ritual-ritual kami sebelumnya, kami begadang saat melakukan pendakian ini (maklum, sampai saai ini kami masih belum punya tenda-red). Jadinya kami pun terus saja berjalan di malam buta sambil terus-terusan mengobrol untuk mengalihkan rasa lelah yang selalu singgah karena keterbatasan bekal yang kami bawa.

Kalau saya ingat-ingat lagi, sepertinya pendakian-pendakian yang pernah kami lakukan memang sedikit berbeda juka dibandingkan dengan pendakian yang dilakukan oleh orang-orang awam lainnya. Pendakian kami adalah sebuah peleburan antara perjalanan fisik dengan perjalanan intelektual. Bahkan saya berani sedikit berspekulasi menyimpulkan bahwa perjalanan intelektual kami bisa jadi relatif sama atau bahkan lebih jauh lagi daripada perjalanan fisik yang kami lakukan.

Ketika kami mendaki gunung, selalu saja ada renungan-renungan filosofis yang mengusik`. Kami jadi sadar bahwa perjalanan kami ini bukanlah sesuatu yang mudah. Rasa lelah dan keinginan menyerah senantiasa berbisik dan mengharapkan kami melakukan keinginan mereka yaitu`berhenti dan kalah`. Menurut kami, ini adalah sebuah `miniatur kehidupan`. Dan nanti, ketika puncak telah berhasil kami raih, maka kami pun juga harus segera berpikir untuk segera turun dari sana. Yah, ini hanyalah sebuah bagian dari perjalanan. Dan perjalanan ini harus kami sempurnakan dengan turun dari pucak tertinggi, untuk kembali lagi kepada kehidupan yang sebenarnya. Bukankah sangat menyebalkan jika kita harus meninggalkan sesuatu yang sudah kita raih dengan susah payah?`.

Itu semua memang benar, tapi inilah `hidup`. Dalam kehidupan ini kita memang diharapkan untuk selalu siap setiap saat manakala segalanya sudah diharuskan `berakhir`. Dan karena itu pula tak ada yang bisa kita usahakan selain mengasah kemampuan kita untuk tidak mudah tergantung kepada sesuatu, termasuk kebahagiaan dan keberhasilan yang telah kita capai. Pendakian kami memang sudah berakhir, harga BBM, sembako sudah melambung, dan bulan puasa pun sudah tiba berikut harga makanan berbuka dan sahur yang ikut naik T_T'. Kami pun kembali lagi menjadi sama seperti orang-orang awam lainnya, `korban kapitalisme televisi` yang tidak memiliki idealisme. Tapi, terlepas dari itu semua, saya ingin mengucapkan `selamat menunaikan ibadah puasa` dan `segera meraih kemenangan di Hari Raya Idul Fitri`.


semoga ini ditampilkan, terserah tempatnya dimana. Dari seseorang yang sebentarlagi hijrah ke Jakarta. Memang sih, tema yang tidak padatempatnya, tapi inilah komentarsayaterhadap kehidupan yang sementara ini. Teruslah berdakwah wahai da'i!