08 Juni 2008

jawaban atas pertanyaan

Seorang kawan (nama yang tertulis sebagai catur) telah menuliskan komentar disini. Pada awalnya saya hanya ingin membalasnya lewat koment juga, namun saya rasa apa salahnya kalau dibalas dalam bentuk postingan agar orang lain pun dapat membacanya. Selain itu toh blog ini juga milik saya, hehehehe... Ini tulisan lengkapnya:

iya Gus... banyak orang yang menginkan kebaikan di luar sana. akan tetapi kadang mereka tidak kita hargai perjuangannya... ada seorang teman yg memulai bisnis dengan niat untuk memajukan ekonomi umat tapi 'dituduh' meninggalkan dakwah... ada teman yang mengkritik kebijakan, ia malah disebut sebagai anti-syuro... saya anggap mereka pejuang Gus, karena dari mereka mungkin akan ada perubahan. Ayo kita lihat sejarah lagi Gus.. kita lihat Mesir tahun 50-60 an, dimana Sayid Qutb hidup, ia memiliki sejarah panjang fase pemikiran.. dari pemikiran Barat.. Sosialis... dan akhirnya beliau percaya bahwa Islam adalah satu-satunya Ideologi yg pantas diperjuangkan.. Atau kebalikannya seorang Hasan Hanafi, yg mulanya Ia menjadi Anggota IM dan aktif di sana... pada akhirnya Ia malah memilih Jalan Islam Kiri... kita renungkan saja diri sendiri, saat kita di Solo menjadi mhsw mungkin idealisme sangat lekat, tapi siapa yang menjamin idealisme itu tetap ada ? Gus mari kita salih berbagi doa dan nasehat untuk memperkuat jalinan Ukhuwah menuju Visi yg diRidhai Allah SWT...

Inilah jawaban saya (atas nama pribadi dan bukan untuk mewakili lembaga atau siapapun):
saya sepakat jika kemajuan umat memang harus semakin banyak dilakukan, entah secara pribadi atau atas nama jama'ah. Bukankah kebangkitan umat terjadi karena makin banyaknya pioner-pioner kebajikan yang membangun pondasi kejayaan umat.

Akan tetapi, ingatlah...jika sebelumnya kita telah pernah aktif di dunia kampus, aktif dalam organisasi-organisasi dan kebaikan-kebaikan lainnya, maka jika itu hilang atau sekedar berubah dan tak mengalami pertambahan beban, entah disaat setelah lulus/bahkan justru sebelum lulus kuliah, berarti menunjukkan adanya stagnasi aktifitas. Bahasa kerennya:futur (hakikat futur adalah diam setelah bergerak).

Apapun kehendak dan cita-cita pribadi yang menginginkan kejayaan dan kebangkitan umat tak akan pernah berdaya maksimal jika berada dalam kesendirian berjuang. Karena yang dikhawatirkan oleh komunitas adalah pribadi atau individu itu justru terkapar karena tak sanggup menghadapi tantangan atau malah tergerus oleh kenikmatan duniawi. Ingatkah Catur tentang kisah Tsa'labah (kalau tidak salah) yang justru memiliki kualitas iman yang kokoh saat dia miskin dan berbanding terbalik ketika dia mulai mengecap kekayaan. Padahal sebelumnya (saat miskin) dia memintakan Rasulullah mendo'akan agar ia menjadi kaya sehingga akan mampu menambah kualitas keimanannya. Semuanya tak terjaminkan. Bukankah hati itu selalu berbolak-balik?

Satu contoh diatas yang catur kisahkan tentang seorang kawan yang memulai bisnis untuk membangun ekonomi umat dan mendapat kecurigaan komunitas, maka yang perlu dicermati adalah sejauhmana visi pembangunan umat yang dikehendakinya, apa dan bagaimana ia memasang target (jangka waktu dan hasilnya) penciptaan ekonomi umat yang dicita-citakan. Jika memang terukur itu bukan suatu masalah, akan tetapi sering kali saya lihat kawan-kawan jarang melakukan studi ilmiah ukuran-ukaran rasional suatu kerja. Yang ada hanya emosional semangat.

Sebutlah Abdurrahman bin Auf atau Abu Bakar, apakah mereka merasa cukup hanya berjuang dengan membangun ekonomi umat semata? tidak kan?! mereka adalah orang-orang yang justru di baris terdepan jika berada di medan jihad. Artinya totalitas dalam berjuang itu perlu (baca kembali arkan baiat). Dan saya sepakat jika kita harus menjadi kaya (terpengaruh tulisan Anis Matta, persepsi terhadap uang). Dengan uang kita memang bisa segalanya, bahkan berkuasa. Apalagi jika uang itu berada ditangan orang-orang baik, pastinya uang tersebut akan berbuah kebaikan-kebaikan. Dan bukan dengan meninggalkan pos kebaikan yang menjadi tanggungjawab kita saat ini.

Dan satu lagi, saya agak khawatir jika ada seseorang (yang bukan terkoordinasi dalam kerja/perintah komunitas) membangun bisnis dan mengatasnamakan untuk membangun ekonomi umat sebenarnya adalah bertujuan untuk membangun kemandirian pribadi yang di bungkus (agar terkesan tidak lari dari tanggungjawab amal kebajikan saat ini) untuk membangun kejayaan umat. Karena bukankah yang akan merasakan pertama kali kekayaan yang didapatnya adalah diriny, baru kemudian orang lain? Dan (bukan berarti tidak ada) berapa yang benar-benar memiliki tujuan tulus membangun ekonomi umat sebagaimana Abdurrahman bin Auf lakukan? Karena tentunya kualitas keimanan kita jauh dari yang ditunjukkan Abdurrahman bin Auf. Trus dengan cara apa kita akan menjaga komitmen-komitmen tujuan itu?
Wallahu a'lam...

1 komentar:

Anonim mengatakan...

hmmm menarik juga tulisan ini
karena jujur saja, bisa jadi saya pun termasuk kedalam golongan orang yg mengalami kemerosotan, 5 hari dlm seminggu untuk kerja, 2 hari berikutnya untuk dakwah, itupun ga full day, semoga bisa menjaga semangat selalu

klo menurutku, kita tidak akan pernah tau niat yang sesungguhnya dari seorang manusia, yang bisa kita lakukan adalah terus mengajak dan meminta komitmen dia utk berkontribusi

klo sekarang dia baru bisa memberikan sebatas dana, dan hanya sepersekian persen dari waktunya, maka syukurilah, masih ada jundi yang membela agama ini

ikhwah yang baru merintis bisnis, wajar klo waktunya byk tersita untuk bisnisnya, kita doakan saja sambil saling mengingatkan, dan menjauhi prasangka, krn bisa menjauhkan dia dari dakwah itu sendiri

tapi byk juga ikhwah yg bisnis lancar, dakwah pun OK, contoh ketua DPRa ku :D

semoga kelak akan ada byk pengusaha2 muslim yang hanif dan menjadi sponsor utama gerakan dakwah

amin